Rabu, 24 September 2008

INOVASI PERTANIAN BERBASIS KULTUR LOKAL

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagian besar hidupnya bergantung pada kegiatan bercocok tanam. Mereka mempertaruhkan hidupnya melalui pengelolaan lahan kering yang pada umumnya berlereng dan bergunung dengan rendah kesuburan tanah (miskin kandungan bahan organic) serta peka terhadap erosi. Ditambah kondisi iklim yang ekstrim kering yakni musim hujan berlangsung hanya 3-4 bulan disertai distribusi curahan yang tidak merata dan tidak tentu setiap tahunnya menyebabkan petani selalu dibayang-bayangi rasa takut akan gagal panen.
Masa-masa ketiadaan pangan bukan kejadian luar biasa yang dialami masyarakat (petani) di NTT karena berulang terjadi dari tahun ketahun menjelang musim tanam. Saat itu jenis biji-bijian dan umbi-umbian yang berasal dari hutan punya kontribusi besar sebagai sumber pangan bagi masyarakat yang memiliki akses ke hutan. Beruntung bahwa sebagian besar petani di NTT bermukim di sekitar kawasan hutan sehingga mendapat kompensasi pangan yang cukup dari hutan ketika hasil panen mereka tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga.
Dari gambaran di atas menunjukkan betapa pentingnya hutan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan sebagai sumber mendapatkan bahan pangan; juga masyarakat (petani) yang tinggal di daerah dataran yang sepanjang musim mengerjakan sawah dan memelihara ternak karena mendapat limpahan bahan organic dan kecukupan air untuk kesuburan tanah dan pengairan serta minuman bagi ternak peliharaan; begitupun masyarakat perkotaan mendapat kecukupan air bersih karena hutan memiliki peran sebagai penyangga bagi berjalannya siklus air di alam raya ini.
Hutan selain sebagai sumber mendapatkan bahan pangan, juga oleh komunitas local di sekitar kawasan hutan mamandang hutan memiliki nilai sakral yang harus dilindungi dari ancaman pengrusakan oleh manusia karena keberadaannya tidak dapat terpisahkan dari kelangsungan hidup mereka. Pada komunitas tersebut, pembukaan hutan baru dapat dilakukan ketika mereka berada dalam kondisi terdesak dan terhimpit karena kesulitan mempertahankan hidup. Sebaliknya hutan di sekitar mata air dan diyakini masyarakat local sebagai sumber yang menghasilkan mata-mata air tabu untuk dibuka dengan alasan apapun. Seperti hutan yang diartikan oleh komunitas local di kawasan Leragere (Lebatukan-Lembata) sebagai duang atau di kawasan kepala burung (Alor) disebut fahain tidak diperkenankan untuk dibuka karena diyakini akan mendatangkan bencana.
Alam NTT yang keras, tidak bersahabat dan sewaktu-waktu mendatangkan bencana seperti gempa, kekeringan, banjir dan longsor tidak menyurutkan motivasi masyarakat (petani) dalam bekerja apalagi pasrah, tetapi justru kondisi tersebut menantang mereka untuk berpikir dan bertindak lebih arif mengelola sumberdaya alam. Kalau diinventarisir akan ada daftar panjang menyangkut kearifan masyarakat local yang berhubungan dengan prilaku hidup supaya bertahan menghadapi kondisi alam yang keras dan tidak bersahabat, maupun mengelola sumberdaya alam di sekitarnya supaya berkelanjutan. Kearifan-kearifan itu diperoleh tidak melalui proses pendidikan formal sebagai layaknya ahli-ahli ilmu pertanian yang mendapat gelar insinyur dari perguruan tinggi, tetapi melalui proses internalisasi yang melibatkan fikiran dan tindakan praktis mereka menghadapi “kemauan” alam yang pada akhirnya lahir pengalaman-pengalaman yang matang dan teruji sebagai nilai-nilai kearifan yang berujud sebagai kultur local.
Mengambil contoh diversifikasi tanaman yang gencar diintrodusir oleh Departemen Pertanian di Republik ini bukan hal baru karena meminjam dari kultur bertani petani-petani kampungan yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal tetapi belajar dari pengalaman bertani secara turun-temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya sebagai cara mengantisipasi apabila salah satu komoditas tanaman pangan mengalami gagal panen akibat kondisi alam yang tidak bersahabat maka masih ada hasil panen dari komoditas lainnya untuk disubstitusi. Penerapan pola tanam dimaksud termasuk di dalamnya kearifan memilih jenis komoditas dan varietas tanaman pangan berumur pendek dan berdaya adaptasi tinggi terhadap kondisi lahan kering serta tidak saling berkompotisi dalam merebut unsure hara dan sinar matahari. Kultur seperti di atas terbawa juga dalam pola makanan sehingga punya nilai positif bagi upaya memasyarakatkan prinsip gizi seimbang di kalangan masyarakat.
Penerapan system bera atau mengisterahatkan lahan kering dalam jangka waktu 10-15 tahun supaya kesuburan tanah kembali normal merupakan salah satu kultur dalam memelihara keberlanjutan produktivitas lahan kering. Sistem tersebut dilakukan oleh sebagian besar komunitas masyarakat lahan kering di NTT agar sepanjang masa pengisterahatan lahan terjadi suksesi vegetasi hutan secara alami. Selain itu di beberapa daerah ditemui sebagian kecil komunitas masyarakat memasukan jenis tanaman legum pada hamparan lahan yang diisterahatkan sebelum dibuka kembali. Cara yang disebutkan terakhir ini pernah mengangkat kabupaten Kupang sebagai gudang ternak sapi berkwalitas ekspor sebelum tanaman lamtoro musnah akibat hama kutu loncat.
Pada daerah-daerah di sekitar sumber mata air, zona tangkapan air dan daerah aliran sungai (DAS) masih banyak kita jumpai mamar yang merupakan model artificial dari hutan alami yang dibentuk oleh masyarakat local tanpa dilandasi teori hidrologi tetapi berdasarkan kearifan mereka memahami alam yang menjadi habitat mereka sendiri. Fikiran sederhana mereka bahwa dengan menerapkan system di atas maka hutan alami yang memiliki nilai sacral tidak diganggu. Dengan demikian mamar menjadi alternatif yang memberi sumbangan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (mendapatkan makanan, obat-obatan, kayu bangunan, kayu bakar dll.). Sedangkan hutan sebagai habitat mereka tetap terjaga dan terpelihara keberlanjutannya.

Introduksi Kultur Modern Kedalam Kultur Lokal

Kebijakan pembangunan di masa rezim orde baru lebih bersifat ekonomisentris yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan kurang mempertimbangkan nilai-nilai social budaya yang melekat kuat dalam komunitas masyarakat agraris. Negara memiliki akses dan kontrol yang tak terbatas terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Sebaliknya masyarakat (petani) sebatas pengguna dan pemanfaat sumberdaya alam tanpa memiliki posisi setara dalam pengambilan keputusan-keputusan publik menyangkut pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai akibat kebijakan pembangunan cenderung menguntungkan negara dan jauh dari harapan mensejahterakan masyarakat sebagaimana tertuang dalam kontrak social negara yakni UUD 1945. Dampak pembangunan yang dirasakan nyata oleh masyarakat agraris berupa lahirnya kelas-kelas social baru.
Pembangunan pertanian melalui introduksi teknologi pertanian modern dan padat modal telah menggeser posisi petani yang semula sebagai pemilik lahan kepada segelintir “orang” yang memiliki teknologi dan modal. Petani yang kemampuan ekonominya rendah dipaksakan untuk menerima paket teknologi pertanian modern dengan harus berhutang. Banyak petani pada akhirnya tidak mampu mengembalikan hutang kepada negara dan merelakan harta satu-satunya yakni lahan untuk menyambung hidup mereka kepada kaum bermodal.
Bersamaan dengan masuknya teknologi pertanian modern yang berorientasi pasar telah menggeser pula kultur bertani local yang selalu memegang prinsip keseimbangan ekologis. Pola usahatani yang bercorak penganekaragaman tanaman dalam dimensi ruang dan waktu yang sama pada system bertani tradisional diganti dengan system monokultur karena lebih menjawab kebutuhan pasar. Penggunaan sisa-sisa tanaman dan kotoran hewan sebagai pupuk alam diganti dengan pupuk kimiawi karena lebih efektif. Kearifan masyarakat dalam mengelola hama/penyakit tanaman melalui penggunaan cara-cara alami ditinggalkan dan beralih pada penggunaan bahan kimia (beracun).
Pendekatan pembangunan pertanian yang mengandalkan teknologi modern seperti dikemukakan di atas bukan saja menmbulkan degradasi ekologi, tetapi juga menciptakan alienasi masyarakat local yang semula memahami konsep ekosistem sebagai bentuk interelasi manusia dengan alam sebagai satu kesatuan sosio-ekologis. Sebab dalam konsep pertanian modern manusia berada dalam di luar ekosistem dan komponen penyusun ekosistem dilihat sebagai unit ekonomi yang dapat direkayasa untuk memenuhi kepentinganmanusia. Tanah dilihat sebagai factor produksi yang dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui input teknologi mekanik dan pemupukan kimiawi supaya mampu berproduksi berlipat ganda. Unsur-unsur cuaca seperti temperatur, kelembaban, cahaya, udara direkayasa sedemikian rupa untuk tercipta iklim mikro yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan produksi komoditas tanaman bernilai ekonomi tinggi.
Dampak pembangunan pertanian bagi masyarakat lahan kering seperti gencarnya introduksi varietas padi dan palawija yang nota bene “unggul” serta pendekatan pemaksaan kepada petani local untuk mengadopsi varietas unggul telah berangsur-angsur mengurangi bahkan meniadakan penggunaan varietas local yang telah lama teruji daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan NTT. Akibatnya varietas-varietas padi dan palawija yang unggul secara local mulai hilang dari lumbung-lumbung benih komunitas petani local. Selain itu penggunaan varietas padi dan palawija yang diintrodusir mengharuskan petani menggunakan input teknologi luar sehingga memerlukan biaya tambahan yang mahal serta menciptakan ketergantungan petani terhadap sumberdaya dari luar. Padahal pola usahatani tanaman pangan yang turun-temurun dilakukan petani melalui penggunaan varietas local maupun teknologi yang syarat nilai-nilai kearifan local membuktikan adanya rasa percaya diri atas kemampuan sendiri tanpa melibatkan sumberdaya dari luar komunitas petani.
Pembangunan kehutanan memberi dampak negatif yang serupa terhadap masyarakat local yang konsisten memandang bahwa mereka termasuk dalam komponen manajemen ekosistem hutan. Berbagai program kehutanan antara lain: hutan lindung, reboisasi, rehabilitasi dan konservasi lahan dan lain-lain mengabaikan pandangan tersebut. Sebagai akibat program-program kehutanan tidak mampu mensejahterakan masyarakat, karena masyarakat local di sekitar hutan tidak dilibatkan dalam satu kesatuan pengelolaan ekosistem hutan. Padahal belajar dari pengalaman masyarakat local memiliki berbagai nilai kearifan yang mestinya dipakai untuk pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan hutan.
Contoh actual kegagalan pembangunan kehutanan di wilayah Timor Barat yang mengandalkan komoditas pohon cendana sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) akhir-akhir ini tidak dapat diandalkan lagi karena populasinya makin berkurang akibat kesalahan pengelolaan hutan oleh negara yang memandang masyarakat local yang tinggal di sekitar hutan tidak dimasukan dalam satu kesatuan komponen pengelolaan ekosistem hutan. Padahal kalau masyarakat dimaksud diikutkan dalam pengelolaan ekosistem hutan cendana maka negara tidak perlu mengeluarkan biaya yang mahal untuk mengawasi hutan, karena dengan sendirinya pengawasan dapat dilakukan oleh masyarakat local yang tinggal di sekitar hutan.

Inovasi Lingkungan Berbasis Kultur Lokal Sebagai Solusi

Berangkat dari pengalaman buruk dari program pembangunan yang berorientasi pertumbuhan bukannya memberi kemakmuran kepada masyarakat, tetapi sebaliknya memiskinkan masyarakat banyak dan memperkaya segelintir orang, maka sudah semestinya paradigma pembangunan diarahkan pada azas keadilan dan pemerataan melalui pemberian kewenangan kepada daerah untuk menentukan masa depannya. Pemberian kewenangan kepada daerah bukan political will semata tetapi dituntut pula kesungguhan dari pemerintah pusat memberikan kewenangan yang menjadi haknya daerah sehingga ada keleluasaan yang bertanggungjawab dari daerah untuk menata dirinya.
Dengan keleluasaan yang diberikan kepada daerah maka sangat terbuka luas kesempatan dari semua pelaku pembangunan di daerah yang meliputi pemerintah daerah, unsure swasta, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam suasana kemitraan dan saling mendukung. Artinya bahwa pemerintah daerah sebagai penggagas dan pengambil kebijakan publik di daerah tidak memihak pada kepentingan institusinya saja tetapi juga menyentuh kepentingan semua komponen di daerah.
Kebijakan pembangunan daerah yang menyentuh kepentingan masyarakat tidak seharusnya menempatkan masyarakat hanya sebatas pemanfaat hasil pembangunan, tetapi membuka kesempatan kepada masyarakat untuk memiliki akses dan kontrol terhadap pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan yang demikian tidak berakibat masyarakat teralienasi dan tercampak dari akar-akar kulturnya tetapi menjadi berdaya di dalam kulturnya selama pembangunan berlangsung.
Masyarakat agraris di dataran jawa dan daerah-daerah belahan Barat Indonesia yang pernah menjadi pusat adopsi teknologi pertanian modern yang menyedot habis-habisan potensinya yang tersimpan pada lahan basah untuk mendukung program swasembada beras mungkin kesulitan untuk kembali kepada pola pertanian yang berbasis pada kultur local sebab sudah terjadi pengalihan kepemilikan tanah oleh kaum innovator teknologi modern yang tidak yakin akan keampuhan pola pertanian yang berbasis kultur local. Tetapi khusus daerah yang masih memegang kultur local dalam kegiatan pertanian seperti pada masyarakat di NTT tidak mengalami kesulitan. Mungkin juga kebertuntungan bagi daerah-daerah yang sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya pada lahan kering, sebab inovasi teknologi pertanian yang diintrodusir berbasis lahan basah tidak compatible untuk lahan kering.
Namun demikian kultur local petani lahan kering yang berorientasi subsisten apabila dihadapkan dengan tantangan kedepan seperti ketersediaan lahan yang makn sempit maupun produksi pertanian yang harus berorientasi pasar, maka pola-pola pertanian yang ada perlu mengalami perbaikan baik melalui pemasukan komoditas tanaman bernilai ekonomis maupun pengaturan komponen tanaman menurut ruang dan waktu mengikuti perkembangan pengetahuan dan nilai-nilai kearifan yang dipunyai masyarakat local.
Menjawab kebutuhan pengembangan pertanian lahan kering yang berorientasi pasar dengan tetap mempertimbangkan kultur local dan keseimbangan ekologis maka tawaran konsep wanatani yang sebenarnya merupakan perbaikan dari model-model pengelolaan pertanian yang telah lama dikembangkan oleh petani lahan kering perlu diintrodusir kepada petani. Model ini tidak mengalami kesulitan untuk diadopsi petani karena tidak bertentangan dengan kultur local petani lahan kering. Demikian juga komoditas tanaman yang dimasukan dalam komponen wanatani dikenal masyarakat dan memiliki daya adaptasi luas pada berbagai kondisi lahan kering.
Yayasan Alfa Omega dalam 5 tahun terakhir mensosialisasikan konsep wanatani kepada petani lahan kering di 5 kabupaten di provinsi NTT melalui pendidikan dan latihan maupun dalam program pendampingan. Salah satu pendekatan yang cukup efektif dalam mensosialisaikan konsep ini ialah melalui program dana bergulir ternak sapi yang mana mengharuskan setiap calon penerima ternak sapi menanam kurang lebih 2000 tanaman pakan (jenis tanaman leguminosae) dalam system wanatani. Pada beberapa desa dampingan telah menunjukan model yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat pedesaan lainnya.
Supaya model wanatani dapat tersosialisai dan diterapkan secara luas oleh petani lahan kering, maka bentuk-bentuk pendidikan dan latihan yang mengikutsertakan petani lahan kering seperti kunjungan antar petani maupun magang pada desa-desa yang telah mengembangkan model tersebut perlu digalakkan. Ditunjang dengan income generating activity yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat maka akan mempercepat adopsi model wanatani yang ditawarkan. Pendekatan seperti itu mestinya dipakai oleh setiap komponen implementator pembangunan pedesaan yang concern pada upaya pemberdayaan masyarakat local.

2 komentar:

Yohanes Geli Bulu mengatakan...

Saya sangat setuju dengan perjuangan dan konsep anda dalam pengembangan pertanian lahan kering, namun saya perlu tambahkan bahwa pengembangan pertanian lahan kering perlu melalui pendekatan berbasis "Social Cpital"

F4 Organic Garden mengatakan...

Terima kasih Pak Yohanes Geli Bulu. Saya setuju dengan pemikiran anda tentang 'Social Capital' karena menjadi salah satu komponen dalam pendekatan "Sustainable Livelihood" di level masyarakat agraris, seperti NTT.