Rabu, 24 September 2008

COMMUNITY BASED ON SUSTAINABLE AGRICULTURE

Kontribusi alam menopang dan memperbaiki kualitas hidup manusia tidak terhingga hitungannya, ketimbang sumbangan manusia menjaga kualitas alam dan lingkungan di sekitarnya. Alam menyediakan oksigen dan dihirup manusia melalui indera pernapasan. Kemudian di dalam tubuh oksigen dipakai untuk membakar makanan yang dikonsumsi menjadi energi (tenaga) yang dibutuhkan bagi berbagai aktivitas manusia. Alam juga menampung material yang tidak berguna lagi bagi manusia, kemudian mengolahnya menjadi bahan berguna bagi kehidupan makhluk-makhluk lain, seperti tumbuhan, hewan, serangga dan lainnya.
Alam berjasa besar bagi kehidupan di alam, akan tetapi keserakahan segelintir manusia mengeksploitasi tatanan ekosistem alam melalui ragam peruntukkannya telah berakibat degradasi lingkungan di mana-mana. Manusia di belahan bumi manapun mengeluh kelaparan akibat kemarau berkepanjangan, petani mengeluh tidak memanen akibat ledakan hama menyerang tanamannya, penduduk di perkotaan terporak-poranda akibat banjir bandang dan gelombang tsunami menghantam pemukiman mereka dan masih banyak bencana yang sedang dan akan manusia alami.

Hutan alami (natural forest) yang kaya dengan keanekaragaman hayati dibongkar dan diganti hutan monokultur, tanaman pangan monokultur, tanaman pakan monokultur. Hutan mangrove di daerah pesisir yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) gelombang pasang dan tempat pemijahan telur (nursery ground) sebagian besar ikan dan hewan lainnya di laut dibuka untuk perluasan pemukiman kota, pembangunan fasilitas umum di perkotaan dan lain-lain, telah mengganggu siklus kehidupan alam sehingga secara kumulatif berakibat pada kejadian-kejadian alam luar biasa saat kini.

Ketika penghuni bumi masih berjumlah sedikit dan hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya mengakses dengan mudah bahan pangan dari alam, campur tangan manusia terhadap hutan masih di bawah ambang toleransi. Keterlibatan manusia mengeksploitasi hutan mulai terjadi ketika penduduk bumi bertambah dan bahan pangan yang dahulu tersedia di hutan mulai menipis dan menunjukkan kelangkaan. Hutan mulai dibuka manusia menjadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Peradaban manusia mengalami pergeseran dari hidup berpindah dan mengumpulkan bahan pangan dari hutan menjadi membuka hutan dan mengusahakan tanaman-tanaman yang bermanfaat untuk dikonsumsi. Manusia mulai belajar cara mendapatkan benih dan menumbuhkannya menjadi tanaman yang menghasilkan bahan pangan, memanen dan menyeleksi untuk dikonsumsi dan sumber benih pada musim tanam berikutnya.

Manusia menyadari bahwa lahan yang sama kalau digunakan beberapa kali musim tanam akan berangsur-angsur menurun kesuburan tanahnya sehingga mempengaruhi hasil panen. Agar lahan kembali pulih kesuburannya, manusia mengisterahatkan lahan (memberakan) supaya tumbuh hutan sebelum digunakan kembali. Praktek demikian hingga kini masih ditemukan dalam sistem pertanian konvensional, meskipun periode bera begitu singkat akibat makin sempitnya kepemilikan lahan. Singkatnya sistem bera tidak memungkinkan pemulihan kembali kesuburan tanah, tetapi justru menimbulkan lahan kritis dimana-mana, bahkan keberadaannya mendominasi lahan pertanian potensial (arable land).

Dinamika pertumbuhan penduduk serta kebutuhan pembangunan yang memungkinkan adanya konversi lahan telah membawa konsekwensi pada pengalihan fungsi hutan sebagai penyangga hidrologi dan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati. Perubahan itu tidak disikapi dengan paradigma pembangunan dan cara manusia menanggapi. Hutan dan sumber daya alam lain (tanah, air, batuan dsb) dilihat sebagai asset produktif yang perlu dikelola untuk perolehan pendapatan bagi pembelanjaan pembangunan, sedang keberlanjutannya dikesampingkan. Sementara itu pembentukan prilaku manusia (human attitude building) melalui penyadaran kristis menanggapi perubahan yang begitu cepat berlansung tidak imbang dengan kuatnya kepentingan elit penguasa terhadap hutan dan sumberdaya alam lain (natural resources).

Pendekatan pembangunan yang ekploitatif terhadap hutan dan sumberdaya alam lainnya mengabaikan pemberdayaan komunitas masyarakat (community empowering) di sekitar hutan yang hidup baik dari mengakses bahan pangan, obat-obatan dan kayu dari hutan maupun praktek bercocok-tanam di sekitar kawasan hutan. Pendekatan penghutanan kembali (re-forestry), pengembangan pekebunan produktif (estate crop), peningkatan ketahanan pangan (food security) melalui pola diversifikasi cenderung mengobyekkan masyarakat tanpa melalui proses partisipatif sehingga substansi pemberdayaan yang mestinya disentuh terabaikan.
Membangun kesadaran kritis (critical awareness) dan mengalihkan keahlian (transfer of skill) mengelola hutan dan sumberdaya alam lain kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan agar menjadi tanggap dan mampu mengelola tidak termasuk komponen proyek pembangunan oleh dinas-dinas sektoral terkait (kehutanan, perkebunan, pertanian dsb). Proyek pembangunan lebih menekankan pada kelayakan teknis lapang dan target capaian fisik menurut ukuran efisiensi dan efektivitas. Oleh sebab itu, sering menjadi pemandangan umum bahwa dengan berakhirnya suatu proyek pembangunan, masyarakat merasa tidak memiliki tanggung jawab (poor sense of belonging) memelihara kelangsungan proyek, bahkan mubazir dan menjadi hiasan yang menambah daftar panjang karya-karya monumental anak bangsa bagi negerinya.

Mandat social negara melalui pemerintah pusat, provinsi, kabupaten hingga pada institusi terkecil desa untuk menjalankan layanan public (public services) cenderung tidak berpihak pada rakyatnya yang sebagian besar tinggal di pedesaan dalam kondisi miskin (the poorest), bahkan dimarginalkan dalam mengakses layanan public maupun mendapatkan hak-hak setara dengan warga masyarakat lainnya. Kondisi demikian menempatkan masyarakat pedesaan menjadi tidak berdaya dan tersubordinasi untuk tumbuh dan berkembang setara dengan sesama warga masyarakat lainnya.

Negara perlu menjamin warganya untuk mendapatkan perlakuan setara tanpa membedakan dikotomi warga kelas satu—kelas dua, kota—desa, kaya—miskin dan apapun pelabelan yang justru menghambat partisipasi warga mendapatkan layanan public. Warga pedesaan sebagian besar hidup sebagai petani; mereka memiliki berbagai keterbatasan akibat dosa paradigma pembangunan masa lampau yang tidak memberi peluang kepada mereka untuk didengar aspirasinya. Mereka selalu dilupakan untuk terlibat dalam setiap perencanaan pembangunan karena terlanjur diberi label sebagai kelompok tidak berpendidikan, bodoh, malas dll sehingga lebih pantas dimobilisasi untuk suksesnya kegiatan pembangunan.

Mata hati kita tertutup oleh cara pandang yang menafikkan orang desa akibat pelabelan di atas, sehingga kita gengsi menggali dan mengadopsi kearifan-kearifan mereka (local wisdom) dalam penyelenggaraan pembangunan. Institusi-institusi negara cenderung memakai pendekatan kekuasaan dan represif dalam mengintrodusir ide-ide yang sesungguhnya di luar pengetahuan dan konteks kehidupan mereka. Gagasan-gagasan rasional, ilmiah, praktis dan modern dianggap menjadi dewa yang dapat menyelesaikan permasalahan pembangunan.

Ketika parameter kesejahteraan masyarakat Indonesia memakai ukuran tingkat konsumsi beras per kapita per tahun, maka secara nasional berpengaruh pada kebijakan pembangunan pertanian yang mana mengarahkan perhatian pemerintah dan sumberdaya lahan untuk swasembada beras. Kebijakan tersebut membawa konsekwensi pada besarnya perhatian pemerintah pada pengembangan pertanian lahan basah (wet land). Padahal secara demografis bagian terbesar penduduk Indonesia bermukim di daerah dataran tinggi (pegunungan) dan menggantungkan hidupnya dari mengelola lahan kering (rain-fed land).

Daerah-daerah berpotensi pengembangan lahan basah seperti Jawa dan Sumatera menjadi sentra pengembangan padi sawah beririgasi. Para petani lahan basah dilatih teknologi pertanian modern dan diberi dukungan alat mekanisasi dan sarana produksi pertanian lain (benih, pupuk dan pestisida) untuk melipat-gandakan produksi padi. Sayangnya bahwa banyak petani lahan basah karena tidak siap mengelola dukungan tersebut, akhirnya mengalami lilitan hutang yang tidak sanggup dikembalikan dan satu per satu lahan miliknya jatuh ke tangan pemodal.

Pada daerah-daerah dataran tinggi (up land) yang didominasi lahan kering perkembangan pertanian mengikuti pengetahuan-pengetahuan lokal tanpa diperkaya dengan inovasi-inovasi dari generasi penerusnya. Teknologi pertanian lahan kering lambat mengikuti perkembangan dan meninggalkan lahan kritis yang dari tahun ke tahun makin meluas. Sistem bera tidak relevan lagi pada kebutuhan saat kini yang syarat akan dimensi social, ekonomi, politik dan ekologis.

Kepemilikan lahan yang kian menyempit dan kritis memerlukan suatu pendekatan baru pengelolaan lahan kering tanpa mengalienasikan petani, bahkan mempekuat basis ekonomi petani, ramah lingkungan serta tidak bertentangan dengan kebijakan nasional. Pendekatan baru dimaksud bukan didatangkan dari luar petani, tetapi mengadopsi kearifan-kearifan petani lahan kering untuk disempurnakan dan dintrodusir kembali kepada petani. Pendekatan baru pertanian itu--meskipun bukan hal baru bagi petani lahan kering--dintrodusir dalam bahasa populer dengan sebutan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan meminimalisir penggunaan input luar (external in-put) dan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya local di sekitar petani dalam kegiatan produksi.

Berbeda pada pendekatan revolusi pertanian mengintegrasikan input luar, seperti pupuk, pestisida dan alat mekanik melampaui daya dukung lahan untuk berproduksi. Selain mahal karena input tersebut diproduksi di luar kapasitas petani, juga tidak ramah lingkungan sehingga meskipun dalam jangka pendek produksi berlipat ganda, tetapi untuk jangka panjang memiliki andil dalam destrukturisasi sifat tanah dan tatanan ekosistem pertanian. Pada sentra-sentra pertanian yang menggunakan pendekatan ini, dijumpai kasus-kasus seperti meningkatnya kadar kemasaman tanah, resistensi hama dan ledakan hama yang secara langsung berpengruh pada penurunan produksi.

Pertanian berkelanjutan dibangun di atas landasan perencanaan kebun yang melibatkan aspek dasar ekonomi keluarga tani (basic economy of household), kecenderungan kebutuhan pasar kedepan (market trend) dan manfaat ekologis (ecological benefit) serta perlindungan dan konservasi lahan (land protection and conservation). Pendekatan baru pertanian mensyarakatkan integrasi berbagai sektor seperti pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, kehutanan, perindustrian dan perdagangan serta koperasi. Hanya saja pendekatan baru ini tidak mudah secara operasional pada level birokrasi karena terkait dengan kepentingannya sektoral masing-masing.

Hambatan pada aras birokrasi tidak berarti pendekatan baru pertanian secara operasional tidak dapat diimplementasikan pada level petani. Diakui pada level birokasi, pertanian berkelanjutan masih merupakan wacana yang diseminarkan dari waktu ke waktu, tetapi tanpa keputusan strategis yang memungkinkan penyederhanaan birokrasi agar responsif terhadap pendekatan tersebut. Berbeda pada beberapa lembaga non pemerintah (ornop), menanggapi gagasan baru melalui pengerahan sumberdaya yang mereka miliki untuk terlibat bersama masyarakat (petani) dan menerjemahkan wacana baru tersebut kedalam bentuk aplikatif, meski dalam implementasi berbenturan dengan program-program sektoral pemerintah.

Inisiatif lembaga-lembaga non pemerintah mengintrodusir pendekatan pertanian berkelanjutan di beberapa area program melalui perencanaan kebun petani secara partisipatif telah memberi warna baru pengelolaan pertanian lahan kering. Pendekatan baru tersebut telah menjadi model pertanian berkelanjutan skala kecil, sekaligus media belajar efektif petani untuk direplikasi dalam skala lebih luas agar berdampak ekonomis dan ekologis bagi masyarakat dalam satu kawasan ekosistem. Model-model pertanian berkelanjutan pada region Nusa Tenggara, ditemui di Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba dan Timor, khusus pada wilayah-wilayah yang menjadi focus pendampingan Ornop.

Aspek penting lain yang luput dari perhatian kita pada petani yakni bagaimana komoditi pertanian dipasarkan melalui jaringan perdagangan yang adil (fair trading). Petani bertahun-tahun diperkenalkan beragam jenis tanaman dan teknis budidaya agar meningkat produksinya, tetapi mereka tidak dilatih untuk mengenal secara baik pasar komoditi mereka. Terkesan petani dilepas untuk mencari dan menemukan jalannya sendiri dalam memasarkan komoditi pertanian, tanpa keterlibatan kita membangun institusi petani agar kuat posisi tawar dalam mengakses pasar yang pelakunya adalah para pedagang bermodal.

Berdasarkan kelemahan tersebut di atas, maka institusi pasar pada level petani (farmer’s market institution) perlu dibangun dan diperkuat agar mampu berperan dalam mengakses pasar komoditi pertanian. Kepercayaan petani perlu dibangun (trust building) dan organisasinya diberi peran melakukan identifikasi pasar (market identify) serta membangun kesepakatan dengan pedagang. Petani juga perlu dilatih menyeleksi komoditi sesuai standar kualitas (grading) yang dibutuhkan pasar dan memasarkan komoditinya lewat wadah bersama (collective marketing) yang dibentuk di tingkat desa agar penjualan tidak secara individu.

Teknologi-teknologi pengolahan tepat guna (appropriate technology) produk pertanian perlu diperkenalkan kepada keluarga-keluarga tani, dengan maksud agar tumbuh industri-industri pengolahan produk pertanian berskala rumah tangga di pedesaan. Demikian pula institusi ekonomi beranggotakan petani dibentuk dan berfungsi dalam mengakses modal dari anggota maupun lembaga-lembaga keuangan agar tersedia bagi unit-unit bisnis yang tumbuh dan berkembang di pedesaan.

Melalui pendekataan pemberdayaan dan sistem yang terpola, maka tanpa pendampingan dari siapapun pertanian berkelanjutan meskipun masih menjadi gagasan oleh institusi birokrat, justru teraplikasi dan berkembang di tingkat petani melalui proses pembelajaran oleh petani ke petani. Semoga!!!

Tidak ada komentar: