Rabu, 24 September 2008

Menggerakkan Pertanian Rakyat

Sosok petani Indonesia sering diidentikkan sebagai kelompok masyarakat miskin. Mengapa demikian? Penduduk Indonesia sebagian besar bermukim di pedesaan dan bermatapencaharian sebagai petani subsisten. Mereka sangat bergantung pada kemurahan alam berupa lahan dan air yang tersedia untuk kegiatan bercocok-tanam dan menghasilkan pangan bagi keperluan konsumtif keluarga, sementara produk lainnya dijual untuk mendapatkan uang tunai. Corak usaha pertanian yang berskala kecil dan cenderung subsisten justru memerangkapkan petani untuk tidak memperluas skala produksi yang berorientasi pasar.

Mayoritas penduduk pedesaan yang karena tidak berkesempatan menempuh pendidikan formal dan terbatas akses mereka terhadap informasi dari luar sering dipersepsikan negatif oleh pihak luar yang mengklaim dirinya sebagai agen pembangunan pedesaan. Sebutan-sebutan seperti malas, bodoh dan tidak mampu sering dialamatkan kepada mereka. Lebih buruk lagi bahwa persepsi demikian telah menjadi asumsi publik, sehingga masyarakat desa sering menjadi objek intervensi pembangunan di pedesaan. Partisipasi mereka dalam ruang publik sering dibatasi baik dalam hal mengemukakan pendapat maupun pengambilan keputusan.

Dalam konteks pembangunan pertanian masyarakat pedesaan cenderung diperlakukan sebagai penerima inovasi-inovasi luar semata, ketimbang mendorong dan menciptakan ruang partisipasi bagi penumbuhan kreativitas petani untuk mengembangkan pengalaman praktis dan kearifan mereka mengelola sumberdaya alam, khusus dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Pendekatan pembangunan pertanian yang berorientasi proyek justru telah mengalienasikan petani dari semangat keswadayaan dan mematikan kreativitasnya dalam menghasilkan inovasi-inovasi pertanian sesuai konteks lokal mereka.

Pembangunan pertanian pedesaan hingga kini belum mampu membebaskan petani dari belenggu kemiskinan. Produk-produk pertanian yang menjadi sumber pendapatan tunai petani (seperti: coklat, kemiri, asam, mente dll) justru merupakan komoditi yang gampang dipermainkan para tengkulak dan pedagang antar pulau untuk mengambil untung lebih banyak dari petani produsen. Kecenderungan petani menjual secara individu dan buruknya infrastruktur di pedesaan menempatkan petani pada posisi tawar yang lemah ketika berhadapan dengan para pedagang perantara (middle man). Disalah satu pihak bahwa petani belum memiliki wadah bersama yang diharapkan perannya dalam memperkuat daya tawar petani.

Rantai perdagangan komoditi pertanian yang melibatkan kepentingan para pelaku bisnis (buyer) dan relatif panjang justru menyulitkan petani mendapatkan informasi harga komoditi pertanian yang terbaharui (up-dated) secara regular dari pusat-pusat perdagangan komoditi pertanian. Akibat ketidaktahuan tersebut petani tidak memiliki pendasaran kuat ketika menawarkan komoditi pertanian dan melakukan transaksi dengan para pedagang bermodal. Transaksi bisnis yang tidak berimbang (inequal) karena lemahnya posisi tawar petani mengakibatkan mereka menjadi pihak penerima harga, bukan sebagai penentu harga atas komoditinya.

Sadar atau tidak kita sadari bahwa petani sesungguhnya berada dalam situasi frustasi karena komoditi pertanian yang bernilai ekonomi bukannya memakmurkan mereka, tetapi justru sebaliknya dinikmati oleh pedagang dan pemilik modal. Karena itu tidak mengherankan kalau tanaman baru ataupun tanaman yang sudah lama dikenal petani, ketika dianjurkan untuk dikembangkan ataupun diremajakan lagi tidak mudah dilakukan petani. Hal demikian patut dipahami sebagai sikap resisten petani terhadap kondisi pasar komoditi pertanian yang tidak adil akibat dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan pasar yang tidak berpihak kepada petani.

Reaksi radikal petani terhadap situasi pasar yang tidak adil pernah dilakukan oleh para petani cengkeh di Sulawesi Utara dengan cara menebas habis tanaman cengkeh di perkebunan mereka. Reaksi tersebut sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap lembaga BPPC (Badan Penyanggah Pemasaran Cengkeh) di era orde baru yang tidak berpihak kepada petani cengkeh. Reaksi yang berbeda sering diperlihatkan oleh petani-petani di Nusa Tenggara dengan bertindak curang dalam berbagai bentuk (seperti: asam gelondongan direndam sesaat ke dalam air, biji kemiri kupas diberi uap air beberapa jam dll. sebelum ditimbang) meskipun akhirnya kembali menjadi bumerang karena merusak citra produk pertanian di pasar lokal dan nasional.

Khusus dalam konteks daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), wilayah yang memiliki karakter periode kering lebih lama (8-9 bulan) menyimpan produk-produk perkebunan dan kehutanan bernilai ekonomi tinggi. Daratan Timor telah lama dikenal sebagai penghasil kayu cendana; kopi dan coklat merupakan komoditi potensial untuk daratan Flores dan Sumba; serta Alor merupakan daerah penghasil komoditi kemiri dan pinang yang telah lama dikenal oleh para pedagang luar karena berkualitas tinggi.

Kemudian kita bertanya: Apakah kehidupan petani di NTT sudah lebih baik? Saya kira kita setuju dengan pernyataan bahwa petani di NTT masih tergolong kelompok masyarakat miskin. Mereka adalah produsen komoditi kehutanan dan perkebunan tetapi tidak memiliki posisi tawar setara ketika bertransaksi dengan pedagang. Akibatnya produk-produk langsung dari petani dibeli dengan harga paling rendah.

Petani NTT bersama dinas-dinas kemakmuran (meliputi: pertanian, perkebunan dan kehutanan) telah lama menggeluti sektor produksi. Akan tetapi kemana produk-produk yang merupakan keluaran (out-put) dari kegiatan produksi itu dipasarkan kurang mendapat perhatian. Petani dibiarkan mencari solusinya sendiri tanpa keterlibatan pihak lain untuk memfasilitasi petani mengakses pasar. Institusi formal seperti Disperindag yang berkompoten sebagai provider informasi pasar dan konsultasi bisnis; begitu pula Dinas koperasi/UKM diharapkan memperkuat kapasitas petani di bidang kewirausahaan dan pengembangan usaha ekonomi skala kecil, tetapi keduanya tidak terlihat keterlibatannya secara sinergis mendukung petani pedesaan mengakses pasar.

Ada beberapa permasalahan internal dan di luar kapasitas petani yang perlu dibenahi agar pembangunan pertanian di pedesaan berdampak positif bagi petani. Pertama: petani masih secara individu memasarkan komoditi pertanian kepada pembeli (buyer) karena tidak memiliki wadah bersama untuk mengakses pasar komoditi pertanian maupun melakukan kontak bisnis dengan pedagang; kedua: buruknya infrastruktur baik komunikasi dan transportasi di pedesaan menyebabkan kesulitan petani mengakses informasi dan teknologi relevan dari pusat-pusat provider; dan ketiga: lembaga-lembaga pendukung belum bekerja optimal dan terkoordinasi untuk meningkatkan kapasitas petani baik secara individu maupun kelembagaan petani dalam mengakses pasar.

Desentralisasi birokrasi melalui pemberian kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur rumah tangga daerah dan kesejahteraan konstituen merupakan momen berharga untuk merancang-bangun format pendekatan pembangunan daerah yang pro petani serta masyarakat miskin. Pendekatan integrasi melalui pelibatan keselurahan sektor dan aktor pembangunan menanggapi kemiskinan masyarakat sebagai issue bersama adalah sebuah pilihan, karena itu kembali kepada kemauan baik (good willing) pemerintahan kabupaten/kota untuk membuka ruang partisipasi dari seluruh komponen yang berkepentingan (stakeholders).

Petani lahan kering adalah representasi dari masyarakat NTT, karenanya mereka perlu mendapat perhatian dan dukungan berbagai sektor dan aktor pembangunan untuk memampukan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Petani secara individu perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam hal pengetahuan dan daya pikir kritisnya agar mampu membaca dan menanggapi berbagai trend dan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Demikian juga institusi masyarakat (petani) perlu dibentuk dan diperkuat kapasitasnya agar mampu berperan dalam memperjuangkan kepentingan petani.

Sektor produksi bahan baku yang dominan dikelola oleh petani pedesaan adalah satu dari subsistem ekonomi yang vital bagi subsistem ekonomi lainnya (prosesing dan pasar) di perkotaan. Meningkatnya pertumbuhan penduduk kota plus urbanisasi penduduk desa ke kota membawa konsekwensi pada meningkatnya permintaan produk-produk konsumtif yang sumber bahan bakunya berasal dari pedesaan. Itu artinya bahwa ada peluang bagi produk-produk pertanian dari pedesaan untuk diakses pasar di perkotaan.

Bagaimana agar diakses pasar? Disini memerlukan dukungan dan fasilitasi dari pihak pemerintah ataupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) agar wakil-wakil petani dan pedagang dapat terhimpun dalam sebuah wadah bersama yang memudahkan mereka (petani dan pedagang) untuk berkomunikasi dan sharing secara regular menyangkut peluang pasar dari produk-produk pertanian yang ada di tingkat petani. Melalui wadah itu pihak pengusaha dapat menyampaikan informasi tentang jenis, karakter dan volume produk pertanian yang dibutuhkan pasar saat itu dan trend pasar produk pertanian di masa depan. Peran petani adalah menggunakan informasi tersebut untuk menyediakan produk sesuai volume dan standar yang dibutuhkan pasar, ataupun jika produk itu belum ada di tingkat petani maka informasi tersebut dipakai dalam kepentingan perencanaan produksi mendatang.

Lembaga-lembaga pendukung yakni Disperindag dan Koperasi/UKM diharapkan perannya untuk menumbuhkan dan mendorong minat masyarakat mengembangkan kelompok-kelompok usaha skala rumah tangga di bidang industri pengolahan makanan dan pemberian nilai tambah bagi produk-produk pertanian lainnya. Selain itu, peran lembaga-lembaga tersebut memfasilitasi kelompok-kelompok usaha masyarakat untuk mendapatkan perizinan usaha dan akses modal guna menunjang pertumbuhan dan perkembangan usaha industri berskala rumah tangga.

Berkembangnya industri pengolahan produk pertanian berskala rumah tangga di perkotaan, tentu akan mendorong meningkatnya permintaan bahan baku (gelondongan) yang disuplai dari pedesaan. Permintaan bahan baku oleh industri pengolahan makanan dan produk pertanian lainnya yang bertumbuh di perkotaan akan berimbas pada terpacunya kegiatan produksi bahan baku oleh petani produsen di pedesaan.

Peran badan pengkajian dan teknologi tepat guna menjadi strategis sebagai sumber sekaligus penyedia informasi dan teknologi relevan yang mudah diakses oleh masyarakat (petani) untuk meningkatkan efisiensi produksi, penanganan pasca panen dan prosesing produk-produk olahan. Oleh sebab itu diperlukan desiminasi teknologi-teknologi relevan dari lembaga-lembaga tersebut ke sentra-sentra produksi serta pendampingan kepada petani. Penggunaan teknologi relevan dalam kegiatan produksi memungkinkan minimalisasi biaya-biaya variabel untuk menghasilkan produk sesuai standar pasar sehingga baik petani produsen maupun processor memperoleh margin pemasukan relatif tinggi.

Model pendekatan pembangunan di bidang pertanian yang mengedepankan kemitraan petani dengan berbagai stakeholder seperti diuraikan di atas, niscaya petani di pedesaan akan merasa bermartabat karena diposisikan setara dengan aktor-aktor pembangunan lainnya. Petani tidak lagi teralienasi oleh pembangunan yang berlangsung di desanya, tetapi sebaliknya mereka adalah pelopor pembangunan di desanya sendiri. Mari kita membangun bangsa tercinta dimulai dari desa!!

2 komentar:

Profarmers mengatakan...

Bravo.....sudah mulai dengan tulisan yang bagus..

adang doE mengatakan...

Terima kasih profarmers...