Rabu, 24 September 2008

FOOD INSECURITY?

Tulisan ini sengaja penulis angkat dengan satu alasan bahwa ada kecenderungan kita menyalahkan alam yang tidak bersahabat, seperti banjir, longsor, hama-penyakit, kekeringan berkepanjangan menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Akibat ketidakramahan alam itu, sepanjang tahun tidak saja petani yang mengeluh gagal panen, tetapi manusia di muka bumi yang kehidupannya sangat bergantung dari produksi pertanian merasa keamanan pangan mereka terancam.
Mengambil contoh kasus di Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam bulan Maret 2005 hampir setiap hari berita menyangkut gejala rawan pangan dengan indikasi puso pada tanaman pangan utama penduduk berupa padi, jagung dan jenis kacang-kacangan diliput media publik. Berita-berita tersebut menghiasi headline media cetak local maupun nasional dan dikonsumsi publik termasuk para public server yang merencanakan strategi penanganan. Ironis bahwa dari kesepuluh kabupaten itu, Alor yang konon berhasil dengan program Gerbadestan termasuk dalam daftar kabupaten yang mengalami rawan pangan.
Menjadi keanehan penulis adalah mengapa sebab dari kerawanan pangan selalu dialamatkan pada kekeringan? Bukankah sebaliknya, yakni akibat dari ketidakramahan kita mengelola alam? Alam NTT memang beriklim kering—sejak manusia NTT menjadi penghuni bumi mengakui bahwa alam di tempat dia dilahirkan dan menjadi dewasa—periode kering memang lebih lama dari periode basah. Kekeringan adalah fakta—merupakan constrain karena di luar kontrol manusia—karena itu tidak patut dijadikan satu-satunya alasan pembenaran.

Kita, termasuk pula para public server selaku aparatus negara yang memiliki kontrak social dengan rakyatnya, tidak terkecuali pemerintah kabupaten Alor dengan rakyatnya yang sebagian besar adalah petani perlu melihat secara jernih bahwa faktor-faktor di luar kendala alam dan berada dalam kontrol manusia memiliki andil secara signifikan terhadap gejala kerawanan pangan. Bukankah faktor-faktor tersebut perlu diidentifikasi dan dianalisis untuk merumuskan strategi pendekatan?
Kabupaten Alor memiliki lahan kering yang tidak kalah potensinya dengan kabupaten lainnya di daratan Flores bagian Barat, Sumbawa dan Lombok dalam pengamatan penulis. Kendala alam memang memiliki kemiripan, diantaranya adalah periode kering lebih panjang, tipis kandungan bahan organic tanah akibat dari menipisnya populasi vegetasi serta berlereng hingga bergunung sehingga rawan terhadap erosi. Kendala-kendala tersebut hanya dapat dikelola melalui perbaikan iklim mikro lahan (pola pengaturan pertanaman), perbaikan struktur tanah dan pengayaan bahan organic tanah (integrasi tanaman multiguna) dan konservasi tanah dan air (terasering menurut garis kontur lahan).
Tindakan-tindakan bertujuan mengelola kendala alam tersebut niscaya dapat dilakukan melalui perencanaan integrative yang melibatkan berbagai stakeholder. Bukan karena kepentingan sector pertanian lebih dominan, lalu mengabaikan peran program sector lain termasuk kepentingan private sector dan LSM/Ornop. Dalam konteks dan vissi menyelamatkan bumi dan kelangsungan hidup manusia dan penghuni lainnya, diperlukan kerendahan hati dan komitmen bersama agar keluar dari ego-sektoral masing-masing untuk mengambil dan menempatkan tindakan-tindakan tersebut sebagai missi bersama.
Kebijakan publik di bidang pertanian sangat miskin perhatiannya (poorest attention) pada pengembangan pertanian lahan kering. Kebijakan publik lebih besar perhatiannya pada pengembangan lahan basah, maka tidak heran aturan-aturan yang menjadi turunan dari kebijakan nasional untuk diberlakukan di kabupaten-kabupaten dengan sistem pertanian yang didominasi lahan kering menjadi tidak compatible. Hal tersebut terlihat dari teknologi/gagasan yang dintroduksi untuk diadopsi petani lahan kering, termasuk petani di kabupaten Alor merupakan pengalaman dari para petani lahan basah.

Penulis dalam sebuah Lokakarya yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi NTT di Kupang—kebetulan saja mewakili lembaga tempat penulis bekerja—pada salah satu session dengan narasumber seorang pejabat pada lingkup BPTP (Balai Penelitian Teknologi Pertanian) Kupang—menyajikan materi bahasan menyangkut pengalaman BPTP mengintroduksi teknologi pertanian sesuai spesifik lokasi lahan kering. Pada session tanya-jawab, penulis berkesempatan untuk meminta pejabat yang bersangkutan menunjukkan best practices dari pengalaman mereka mengintroduksi teknologi tersebut. Tanggapannya amat mengecewakan penulis ketika itu—kata pejabat tersebut bahwa: “Petanilah yang melakukan karenanya pengalaman itu ada pada mereka—sementara kami belum mendokumentasi pengalaman itu”—tanggapan itu sangat retoris dan tidak menunjukkan kesungguhan menjalankan mandat dan mempertanggung-jawabkannya kepada publik.
Pendekatan pembangunan pertanian oleh dinas sektoral nampak project-minded dan mengabaikan fungsi empowering baik melalui pendekatan edukasi dan penyadaran kepada petani yang pada umumnya kurang berpendidikan dan berkemampuan terbatas dalam mengakses informasi dari penyedia informasi dan teknologi relevan. Tidak mengherankan pada masyarakat di daerah-daerah, termasuk di kabupaten Alor yang belum tersentuh oleh pendekatan pembangunan yang bermuatan empowering, perilaku masyarakatnya tidak dinamis—sebagai petani mereka tetap mempertahankan pola shifting farm sebagai yang terbaik padahal sudah tidak relevan, tidak berani mengambil resiko terhadap alternatif lain, miskin inovasi dan merasa puas dengan hasil yang dicapai.
Nampak sekali proses pembodohan lebih gencar diinfiltrasikan kepada masyarakat pedesaan untuk tujuan politik penguasa ketimbang proses pencerahan sebagai hak bagi semua komponen anak bangsa. Mengambil contoh, kampanye-kampanye politik para kontestan Pemilu dan/atau pasangan Cabup—Cawabup dalam paparan visi dan misi programnya mengumbar janji-janji politik yang dikemas dalam isu menarik untuk medapat dukungan politik maupun suara mayoritas dari konstituen. Sayangnya, setelah tujuan politiknya tercapai—janji yang gaungnya memekakkan telinga mayoritas rakyat pendukung, menjadi berubah ibarat sebuah bola liar yang menggelinding tanpa arah dan tujuannya. Program kerja lima tahun—sepuluh tahun terlanjur menjadi angan-angan rakyat yang menantikan adanya perubahan kehidupan lebih baik.

Pendekatan empowering melalui sektor-sektor program terkait perlu diarahkan pada perbaikan manajemen pangan di tingkat masyarakat. Masyarakat pedesaan di Alor memiliki kohesi social relatif tinggi, terlihat ketika diantara anggota komunitas tersebut mengalami kesukaran hidup atau melakukan hajatan maka anggota komunitas lainnya turut menanggung kesukaran yang dihadapi atau ikut mengambil bagian dalam hajatan itu. Kebiasan-kebiasan itu telah mengakar dalam budaya komunitas pedesaan, hanya saja belum dilembagakan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan strategis—termasuk manajemen penyimpanan dan pendistribusian pangan di tingkat komunitas. Dahulu kita mengenalnya dengan sebutan “lumbung petani” yang dilembagakan atas inisiatif komunitas local agar memudahkan anggotanya mengakses, tetapi institusi tersebut tereliminasi oleh kuatnya institusi baru yang diintrodusir penguasa yang mengharuskan penyeragaman.
Petani secara individu kurang dikenalkan cara-cara menangani komoditas pangan setelah panen (pasca panen) dan mengolah komoditas tersebut menjadi produk baru yang layak dikonsumsi dan tahan lama (awet). Padahal di kalangan masyarakat pedesaan kita menemukan banyak ragam komoditas pangan non beras yang memiliki kandungan gizi hampir setara bahkan lebih dari beras yang oleh pemerintah dipakai sebagai standar komoditas pangan tingkat nasional. Penanganan pasca panen dan pengolahan komoditas pangan menjadi produk baru sesuai standar kesehatan, mungkin membuka peluang bagi tumbuhnya industri-industri pengolahan makanan berskala rumah tangga sebagai salah satu sumber pendapatan alternatif di kalangan komunitas local. Penulis yakin kalau hal tersebut terpola sebagai kegiatan ekonomi di kalangan komunitas pedesaan, maka akan mendorong petani untuk menggiatkan kegiatan produksi selain mencukupi kebutuhan pangan petani, tetapi juga memenuhi permintaan pasar industri pengolahan makanan.
Keluarga petani perlu juga dikenalkan cara mengelola pendapatan rumah tangga mereka, berapapun jumlahnya. Sesensitif apapaun, perlu dibangun diskusi yang melibatkan anggota keluarga menyangkut pemanfaatan pendapatan—berapa untuk kebutuhan konsumtif, berapa untuk tujuan social dan berapa untuk saving dan investasi—dengan maksud “membongkar” stereotype watak miskin yang diyakini kuat oleh komunitas pedesaan sebagai kodrat—agar keluar dari keyakinan itu dan mengambil langkah-langkah perubahan yang mengarah pada perbaikan pendapatan rumah tangga melalui kegiatan produksi on farm maupun off farm.
Dari keseluruhan gagasan penulis di atas tentunya kembali kepada komitmen dan kerendahan hati kita melihat dan merasakan yang dialami masyarakat. Atas dasar kedua hal itu, pasti ada kesediaan dari kita untuk bertindak sesuai peran dan kapasitas masing-masing dalam mengantar masyarakat keluar dari ketidakberdayaan mereka menyambut masa depan dan kehidupan lebih baik dan bermartabat. Sebab bangsa yang bermartabat tercermin lewat kehidupan rakyatnya yang sejahtera—bukan menjual ternaga kerja rakyatnya kepada bangsa asing—demi kemewahan hidup elit penguasanya. Semoga!!!

Tidak ada komentar: